TINJAUAN KASUS

Peristiwa ini dialami oleh perawat S ketika bertugas di sebuah daerah yang cukup terpencil. Pada suatu hari perawat S yang sedang berdinas di Puskesmas A dijemput dengan sebuah mobil oleh enam orang yang tidak dikenalnya. Perawat S dimintai pertolongan untuk datang ke rumah seorang kepala suku di daerah tersebut. Perawat S segera menyiapkan alat dan bergegas ikut ke lokasi .Setibanya di lokasi keluarga pasien mempersilakan perawat untuk masuk. Disisi lain rumah, perawat melihat ada seorang anggota keluarga yang agak mabuk (menurut persepsi perawat). Di ruang tamu terdapat cukup banyak orang (warga), sehingga ruangan menjadi sesak dan ribut. Perawat menanyakan siapa yang sakit, kemudian perawat diantar oleh istri pasien masuk ke kamar. Setelah berada di dalam kamar, terjadilah dialog antara perawat dan istri pasien, akan tetapi di kamar tersebut ternyata dipenuhi oleh beberapa orang anggota keluarga sehingga perawat merasa terganggu oleh keadaan itu. Perawat meminta keluarga yang lain untuk keluar kecuali istri pasien, tetapi mereka tidak mau keluar. Sekali lagi perawat mengulangi permintaannya tetapi tidak ada tanggapan dari keluarga pasien sehingga perawat menjadi agak kesal dan emosi. Untunglah ada keluarga pasien yang bisa memberi pengertian, sehingga mereka mau keluar juga meskipun disertai omelan. Setelah situasi di kamar tenang, perawat segera melakukan tindakan keperawatan sesuai prosedur. Perawat menanyakan kepada pasien, mengapa tidak memeriksakan diri ke Puskesmas tetapi pasien marah dan menjawab dengan nada tinggi. Pada saat yang bersamaan perawat mendengar perkataan yang tidak menyenangkan dari keluarga pasien yang berada di pintu. Setelah semua prosedur dilakukan, perawat S membuat kesimpulan bahwa pasien menderita usus buntu kronis. Perawat hanya bisa memberikan obat untuk mengurangi rasa sakit dan menyarankan agar pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Tetapi pasien menolak sambil marah-marah. Perawat S berusaha memberikan penjelasan sekali lagi tentang kemungkinan terburuk yang bisa tejadi sambil membuat surat rujukan. Akhirnya pasien bersedia untuk dirujuk ke rumah sakit.

 

Dari studi kasus yang ada di atas, dapat dianalisis bahwa faktor-faktor penghambat komunikasi jika ditinjau dari faktor komunikan dan komunikator yakni persepsi, nilai dan latar belakang sosial, emosi, tatanan interaksi atau lingkungan serta pengetahuan.

1)      Persepsi.

Persepsi adalah cara seseorang mencerap tentang segala sesuatu yang terjadi disekelilingnya. Persepsi dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat komunikasi (perawat-klien) karena pada kasus tersebut terdapat suatu kejadian dimana saat perawat S ingin memeriksa pasien dan menyuruh keluarga pasien untuk menunggu di luar kamar, keluarga pasien malah marah-marah ke perawat S, padahal maksud perawat S baik agar pasien dapat bernapas lebih enak. Disini telah tampak perbedaan persepsi antara keluarga pasien dan perawat S dimana keluarga merasa dirinya perlu untuk  mendampingi pasien saat d periksa .

 

2)      Nilai dan Latar Belakang Sosial

Komunikasi yang terjadi antara perawat dengan klien juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dari kedua belah pihak. Nilai adalah keyakinan yang dianut seseorang, jalan hidup seseorang dipengaruhi oleh keyakinan, fikiran dan tingkah lakunya.  Nilai-nilai seseorang sangat dekat dengan masalah etika. Seperti kejadian pada di kasus diatas, dimana seseorang yang sakit itu adalah salah satu keluarga kepala suku atau mungkin kepala suku dan (mungkin) keyakinan / nilai yang berkembang di sana jika ada seorang warga atau bahkan jika kepala suku / keluarga kepala suku yang sakit patut untuk di lihat sebagai tanda penghormatan hingga membuat rumah tersebut sesak dipenuhi oleh banyak orang baik keluarga maupun warga.

 

3)      Emosi

Emosi juga sangat berpengaruh pada komunikasi perawat dan klien (pasien) dan menjadi salah satu factor penghambat. Emosi adalah subyektif seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi disekelilingnya. Kekuatan emosi seorang dipengaruhi oleh bagaimana kemampuan atau kesanggupan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Seperti contoh pada kasus diatas, dimana si pasien selalu emosi dan marah-marah ke perawat sehingga apapun yang dikatakan perawat seakan tidak bisa ia terima. Begitu pula pada keluarga pasien yang juga marah-marah pada perawat. Ini terjadi (mungkin) karena situasi lingkungannya yang terlalu rame / gaduh ditambah lagi keadaannya (pasien) yang sedang sakit dan keluarga pasien yang panik.

 

4)      Tatanan Interaksi atau Lingkungan

Tatanan interaksi atau lingkungan juga sangat berpengaruh dan menjadi salah satu factor penghambat bagi perawat dalam berkomunikasi dengan klien. Hal ini dikarenakan suatu komunikasi baik itu dapat terwujud jika dalam tatanan interaksi yang baik pula. Perawat dan klien dipastikan dapat berkomunikasi dengan nyaman. Sedangkan yang terjadi pada kasus diatas tatanan interaksi  atau lingkungannya sangat gaduh karena dipenuhi oleh banyak orang sehingga menyebabkan perawat terganggu untuk memeriksa pasien begitu pula pada pasien yang bawaannya ingin marah saja pada pasien .

 

5)      Pengetahuan

Komunikasi sulit berlangsung bila terjadi perbedaan tingkat pengetahuan dari pelaku komunikasi. Seperti pada contoh kasus diatas dimana terdapat perbedaan pengetahuan antara perawat dan pasien. Pada saat pasien marah dan tidak mau untuk di rujuk ke rumah sakit oleh perawat S. Ini sudah membuktikan bahwa pengetahuan pasien akan penyakit yang dideritanya kurang, sehingga merasa dirinya tidak perlu untuk dirujuk ke rumah sakit, padahal sesungguhnya penyakitnya sudah kronis dan mesti dibawa ke rumah sakit guna mendapatkan perawatan yang lebih intensif.

 

1 Komentar »

  1. ranida said

    this is my own task !!!
    Ranida arsi

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Tinggalkan komentar